Dalam kropak (Tulisan pada rontal atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di
Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406
sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama "Carita Parahiyangan".
Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat
keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati. "Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri
Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku
Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan.
Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun
Maharaja Tarusbawa.
(Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan
Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai (dibangun) lalu
diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu
Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah
dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu
jauh dari "hulu Cipakancilan". Hulu Cipakancilan terletak dekat
lokasi kampung Lawang Gintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini
disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran
sungai itu sudah bernam Cipakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian
menterjemahkannya menjadi Cipeucang. Dalam bahasa Sunda kuno dan Jawa kuno kata
"kancil" memang berarti "peucang".
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan
"cetakan tangan" untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan
pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada 4
orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang
mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.
Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri
berlangsung tahun 1903). Dalam tulisan "Het Jaartal open Batoe-Toelis
nabij Buitenzorg" (Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor), Pleyte
menjelaskan "Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige
historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal
Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan.
Naar eenige preciseering in deze te trachten"
(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih dipercayai
menunjuk kampung Batutulis yang sekarang sebagai tempat puri kerajaan
Pajajaran, masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat)
Sedikit kotradiksi dari Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung Batutulis
sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya
meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte
mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura
Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha"
(Jero kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah
"kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan
benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada
pertemuan Jl. Siliwangi dengan Jl. Batutulis.
Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang
Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk
pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun
kurang ditunjang oleh data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya
didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur
dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ciliwung dalam Kebun Raya Bogor.
Menurut kisah klasih, "leuwi" (lubuk) itu biasa dipakai
bermandi-mandi oleh puteri-puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa
letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu.
Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa"
(Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari
kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang
sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan
kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan
Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing
sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut
berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling
besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng
ini "Kuta Maneuh".
Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler
(kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pad sebuah
"hoff" (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada
kata "paseban" dengan 7 batang beringin pada lokasi Gang Amil.
Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada
pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang
lama.
Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang
Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang Saketeng
berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat
yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat
pada bekas lokasi gerbang.
Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal
ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di
sebelah Bioskop "Rangga Gading". Setelah menyilang Jl. Suryakencana,
membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara
Jl. Suryakencana dengan Jl. Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi,
sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng. Selanjutnya benteng tersebut
mengikuti puncak lembah Ciliwung. Deretan kios dekat simpangan Jl. Siliwangi -
Jl. Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng
tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta
Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung
melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyiang Jl. Raya Pajajaran, pada
perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jl. Siliwangi (di sini
dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung. Di
Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan "benteng alam"
yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api
Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta
api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan.
Tebing Cipakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan
"benteng" pada tebing Kampung Cincaw.
PAKUAN IBUKOTA KERAJAAN SUNDA
Tome Pires (1513) menyebutkan bahwa dayo (dayeuh) Kerajaan Sunda terletak dua
hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Ciliwung. Sunda
sebagai nama kerajaan tercata dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di
Bogor dan Sukabumi. Prasasti yang di Bogor banyak berhubungan dengan KERAJAANSUNDA PECAHAN TARUMANAGARA, sedangkan yang di daerah Sukabumi berhubungan
dengan KERAJAAN SUNDA SAMPAI MASA SRI JAYABUPATI.
KERAJAAN SUNDA PECAHAN TARUMANAGARA
Di Bogor, prasasti itu ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari
prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada
ditempat asalnya. Dalam prasasti
itu dituliskan
"ini sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji
panyca pasagi marsan desa barpulihkan haji sunda"
Terjemahannya menurut Bosch:
"Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat
dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5)
pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan
kepada raja Sunda".
Karna angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan
"angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti
tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Beberapa ratus meter dari tempat prasasti itu, ditemukan pula dua prasasti
lainnya peninggalan Maharaja Purnawarman yang berhuruf Palawa dan berbahasa
Sangsekerta. Dalam literatur, kedua prasasti itu disebut Prasasti Ciaruteun
dan Prasasti Kebon Kopi (daerah bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig).
Prasasti Ciaruteun semula terletak pada aliran (sungai) Ciaruteun (100 meter)
dari pertemuan sungai tersebut dengan Cisadane. Tahun 1981 prasasti itu
diangkat dan diletakkan dalam cungkup. Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk
puisi 4 baris, berbunyi:
"vikkrantasyavanipateh
shrimatah purnavarmmanah
tarumanagararendrasya
vishnoriva padadvayam"
"Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini
kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa
Tarumanagara".
Prasasti Ciaruteun bergambar sepasang "pandatala" (jejak kaki).
Gambar jejak telapak kaki menunjukkan tanda kekuasaan yang berfungsi mirip
"tanda tangan" seperti jaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman
di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.
Menurut "Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara" parwa II sarga 3,
halaman 161, diantara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman
(395-434 M) terdapat nama
"Rajamandala" (Raja daerah) Pasir Muhara.
Lahan tempat prasasti itu ditemukan
berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai:
Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan
dengan nama Pasir Muara. Dahul termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi
keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
"jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah
airavatabhasya vibhatidam padadavayam"
(Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki
gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan
penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa)
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra
dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa
parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama
gajah tunggangan Indra, bahkan diberitakan juga bahwa bendera Kerajaan
Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah.
Demikian pula mahkota yang dikenakan
Purnawarman berukiran sepasang lebah. Ukiran bendera dan sepasang lebah ini
dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan
mengasyikkan diantara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai
perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli
diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya
sampai sekarang.
Demikian pula tentang ukiran
sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang
labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).
Keterangan Pustaka dari Cirebon tentang bendera
Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada
mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber
sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti
Ciaruteun.
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu
peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir
Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka.
Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk
puisi dua baris:
"shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri
purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam
arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram
shalyabhutam ripunam"
Terjemahannya menurut Vogel:
"Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya
bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak
dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak
kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu
menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi
merupakan duri bagi musuh-musuhnya".
Kerajaan Taruma didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman dalam tahun
358 M. Ia wafat tahun 382 dan dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi). Ia
digantikan oleh puteranya, Dharmayawarman (382 - 395 M) yang setelah wafat
dipusarakan di tepi kali Candrabaga. Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang
ketiga (395 - 434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 yang
terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya "Sundapura".
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu
merupakan sebuah "Kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di
tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu
masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan
pleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada
Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa
Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka
Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa
dalam masa pemerintahan Candrawarman (515 - 535 M), ayah Suryawarman, banyak
penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya
sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini,
maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Rakryan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin
sekali seorang Pejabat Tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja
sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah
mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu
terdapat di sana? apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya
sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M untuk
menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya. Baik sumber-sumber prasati maupun
sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil
menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa
wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa
II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman
terdapat 48 raja daerah yang membentang dari SALAKANAGARA atau RAJATAPURA (di
daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke PURWALINGGA (sekarang Purbolinggo) di
Jawa Tengah. Secara tradisinal CIPAMALI (Kali Brebes) memang dianggap batas
kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda
dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah
status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan
Tarumanagara telah bergeser ke tampat lain [contoh yang sama dapat dilihat dari
kedudukaan RAJATAPURA atau SALAKANAGARA (kota Perak) yang disebut ARGYRE oleh
Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat
pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Ketika pusat
pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah
status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah
menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri adalah seorang Maharesi dari
Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan
ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan
kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan
sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. [Dalam tahun 526 M, Manikmaya (menantu Suryawarman) telah
mendirikan kerajaan baru di Kendan (daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan
). Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di Ibukota Taruma dan
kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah
timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh
dalam tahun 612 M].
0 comments:
Post a Comment