Latar Belakang Munculnya Psikologi Islam
Wacana psikologi Islam mulai bergaung semenjak tahun 1978
sebagai suatu perbincangan publik berskala Internasional pada International
Symposium on Psychology and Islam di Universitas Riyadl Arab Saudi. Wacana
ini merupakan salah satu bentuk terbukanya wacana global tentang islamisasi
ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh Ismail Raji Al-Faruqi, Sayyid Hussein
Nasr dan Ziauddin Sardar. Namun demikian sejak tahun 1950an Muhammad Utsman
Najati telah banyak memberikan ceramah tentang Al-Qur’an dan ilmu jiwa. Dengan
demikian pembahasan tentang psikologi yang dikaitkan dengan Islam telah merebak
bersamaan dengan banyaknya kajian dalam psikologi barat, bukan hanya sekedar
sebuah perilaku ”iri” terhadap perkembangan psikologi barat yang meninggalkan
unsur agama dalam pembahasan manusia.
Secara umum berkembangnya wacana Psikologi Islam sebagai
salah satu ”buah Islamisasi sains” atau ”kebangkitan Islam”, tidak hanya
tuntutan dari ilmuwan muslim tetapi juga merupakan hasil kajian beberapa
ilmuwan non muslim. Salah satunya adalah Erich Fromm yang mengungkapkan bahwa
manusia modern menghadapi suatu ironi dimana mereka berjaya dalam menggapai
capaian-capaian material namun kehidupan mereka dipenuhi keresahan jiwa (rentan
terhadap stress, depresi dan merasa teralienasi). Erich Fromm memberi contoh
makin meningkatkanya angka bunuh diri pada usia lansia di beberapa negara Eropa
dan Amerika. Begitu pula pendapat filosuf Bertrand Russell yang mengatakan
bahwa kemajuan material yang dicapai pada peradaban modern tidak dibarengi
dengan kemajuan di bidang moral-spiritual.
Disamping itu adanya gelombang kritisisme ilmu
pengatahuan modern menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya wacana
psikologi Islam. Gelombang kritik ini diilhami oleh buku The Structure of
Scientific Revolution karya Thomas Kuhn yang mengatakan bahwa gelombang
revolusi ilmu pengetahaun selalu ditandai oleh pergeseran dan penggantian
dominasi ilmu pengetahuan yang berlaku. Paradigma ilmu pengetahuan yang lama
akan digantikan oleh paradigma baru yang lebih mampu menjelaskan tentang sebuah
fenomena. Sebagai contoh aliran strukturalisme (consciousness) oleh
Wilhelm Wundt digantikan oleh aliran psikoanalisa (unconsciousness) oleh
Sigmund Freud. Aliran ini digantikan oleh behavioristik (stimulus-respon)
oleh John B. Watson dan kemudian oleh Humanistik (potensi kemanusiaan)
oleh Abraham H. Maslow lalu muncul psikologi transpersonal (potensi
spiritual) oleh Anthony Sutich.
Melihat perkembangan paradigma psikologi barat yang telah
dipaparkan diatas, maka tidak menutup kemungkinan psikologi Islam menjadi
paradigma selanjutnya dalam perkembangan ilmu psikologi. Salah satu alasan yang
dapat digunakan adalah bahwa psikologi Islam menempatkan kembali kedudukan
agama dalam kehidupan manusia yang dalam sejarah perkembangan ilmu saling tarik
ulur, menjadi penyempurna konsep perilaku manusia dan menghadirkan kembali
faktor Tuhan (spiritual) dalam kehidupan manusia serta diyakini mampu menjadi
elemen moral dalam aplikasi ilmu pengetahuan modern sehingga dapat membangun
kembali peradaban manusia.
- D. Kajian
Filsafat Ilmu Dalam Psikologi Islam
- 1.
Ontologi Psikologi Islam
Mengkaji sebuah keilmuan dalam kategori filsafat ilmu,
kita tidak dapat memisahkan diri dari pembahasan tentang aspek ontologi.
Ontologi adalah aspek dalam filsafat ilmu yang mempelajari tentang objek yang
akan ditelaah oleh ilmu tersebut, bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut
dan bagaimana hubungan antara objek tersebut dengan daya tangkap manusia
sendiri (berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Kajian ontologi psikologi Islam sama halnya pada
psikologi barat yaitu manusia. Meskipun aspek kajiannya sama tentang manusia
tapi dalam konsepnya memiliki beberapa perbedaan, baik melalui aliran
psikoanalisa, behavioristik maupun humanistik. Perbedaan pemahaman konsep
manusia ini akan mempengaruhi pada penerapan keilmuan itu sendiri, baik di
bidang perkembangan, pendidikan, sosial, klinis maupun industri.
Psikoanalisa memandang manusia sebagai sosok makhluk yang
hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan (id) dan sangat ditentukan oleh masa
lalunya. Konsep ini dipandang terlalu menyederhanakan kompleksitas dorongan
hidup yang ada dalam diri manusia, sehingga terkesan pesimistis dalam
pengembangan diri manusia. Sementara aliran behavioristik memandang manusia
sebagai sosok makhluk yang sangat mekanistik karena kelahirannya tidak membawa
apapun, sehingga kehidupannya sangat ditentukan oleh lingkungan atau hasil
pengkondisian lingkungan. Sedangkan aliran humanistik memandang manusia sebagai
sosok yang mempunyai potensi baik dan tidak terbatas, sehingga dipandang
sebagai penentu tunggal yang mampu memainkan peran Tuhan (play-God).
Sementara psikologi transpersonal cenderung melihat pada dimensi spiritual
(pengalaman subjektif transendental) manusia yang mempunyai kemampuan luar
biasa diatas alam kesadaran.
Psikologi Islam hadir dengan menawarkan pembahasan
tentang konsep manusia yang lebih utuh (komprehensif). Manusia tidak hanya
dikendalikan oleh masa lalu tetapi juga mampu merancang masa depan. Manusia
tidak hanya dikendalikan lingkungan tetapi juga mampu mengendalikan lingkungan.
Manusia memiliki potensi baik tetapi juga potensi buruk (terbatas). Konsep
manusia dalam psikologi Islam adalah bio-sosio-psikis-spiritual, artinya Islam
mengakui keterbatasan aspek biologis (fisiologis), mengakui peran serta
lingkungan (sosiokultural), mengakui keunggulan potensi dan juga memerankan
aspek spiritual (Tuhan) dalam kehidupan manusia.
Manusia mempunyai 2 (dua) unsur yaitu jasmaniah (materi)
dan rohaniah (non materi) yang secara umum dapat dijelaskan melalui konsep
bio-sosio-psikis-spiritual yang dalam perkembangan psikologi barat tidak diakui
keberadaannya. Perilaku manusia terbentuk oleh hasil kolaborasi semua unsur,
tidak ada reduksi antar unsur sehingga pemahaman tentang manusia dapat
menemukan titik temu yang utuh.
Islam menawarkan konsep manusia melalui pemahaman agama
(wahyu Tuhan). Memahami manusia tidak dapat dilepaskan dari konsep ruh (daya
ikat pencipta dan makhluknya), hati (qalbu) sebagai pengendali perilaku
manusia, nafs yang menjadi wadah potensi manusia (baik-buruk) serta akal
sebagai tempat nalar dan daya pemahaman tentang pilihan perilaku. Memahami
manusia tidak hanya terbatas pada observable area tetapi juga yang unobservable
area dan unconceivable area (tidak dapat dipikirkan atau dirasakan).
Apabila dilihat dari konteks pemahamannya, maka dapat
dikatakan konsep unsur-unsur dalam diri manusia sangatlah abstrak seperi halnya
konsep id-ego-super ego milik Freud dan archetyp-archetyp milik Carl Gustav
Jung, sehingga tidak perlu diperdebatkan dalam kajian psikologi. Keberanian
menawarkan konsep lain yang sejalan dengan pembahasan perilaku manusia
merupakan entry point dalam membangun pondasi keilmuan yang baru.
Konsep unsur manusia dalam Islam diambil dari wahyu Tuhan
tidak dapat diragukan kebenarannya. Tuhan adalah pencipta manusia yang tentunya
sangat mengetahui hasil ciptaannya, sehingga acuan yang paling tepat untuk
memahami manusia adalah dari kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan meskipun
dalam aplikasinya terdapat pola penafsiran yang berbeda.
Epistemologi Psikologi Islam
Kajian epistemologi menekankan pada proses atau prosedur
timbulnya ilmu pengatahuan, hal-hal yang harus diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuan yang benar dan cara yang digunakan untuk membantu mendapatkan
pengetahuan. Epistemologi merupakan satu-satunya jalur untuk melihat metode
pencarian kebenaran dari sebuah ilmu pengetahuan. Kesalahan dalam menentukan
metode akan menurunkan kualitas keilmuan tersebut sehingga hasil dari pencarian
kebenaran akan banyak menyisakan pertanyaan-pertanyaan.
Secara epistemologi perkembangan psikologi barat bermula
dari pengembangan metode ilmiah ilmu eksakta, sehingga hasil keilmuannya
bermuara pada pengukuran kuantitatif-eksperimen untuk menjamin objektifitas.
Perkembangan keilmuan yang sedemikian rupa merupakan efek dari penerimaan ilmu
eksakta yang melebihi penghargaan dari ilmu sosial, sehingga para ilmuan sosial
berbondong-bondong mengadopsi metode ilmiah eksakta untuk dipergunakan pada
ilmu sosial termasuk psikologi.
Apabila ditelusuri keberadaan aliran-aliran dalam
psikologi barat, maka dapat ditemukan bahwa konsep dasar aliran psikologi
memiliki beberapa variasi dalam membangun keilmuannya meskipun tetap memiliki
paradigma yang hampir sama. Freud mempergunakan pengalaman menangani pasien
pada klinik neurologinya untuk membangun teori psikoanalisa. Bahkan tidak
jarang mempergunakan pasien yang telah mengalami gangguan psikologis untuk
digeneralisasikan pada orang-orang normal. Pavlov mencoba mempergunakan
eksperimen binatang untuk menerangkan perilaku manusia pada aliran
behavioristik, sehingga memunculkan spekulasi teori psikologi yang sangat
mekanistik. Humanistik hadir untuk memberikan tempat yang lebih layak pada
potensi dasar manusia dengan teori hirarki kebutuhan Maslow yang ternyata tidak
mampu pula menjelaskan fenomena mati syahid para revolusi Iran.
Karakteristik bangunan teori yang telah dimiliki oleh
psikologi barat dengan segala metode (caranya) cenderung over estimate
atau mungkin over confidance untuk menjelaskan perilaku manusia yang
memiliki keunikan masing-masing, sehingga pada perkembangan mutakhir
memunculkan sebuah pemikiran baru dalam bidang psikologi yang dikenal dengan Indigenous
Psychology atau Cross Culture Psychology yang memberikan wacana
tentang aspek budaya dan karakteristik budaya lokal dalam pembentukan perilaku
manusia.
Disamping itu bangunan ilmu psikologi juga sulit
menjangkau permasalahan-permasalahan yang bersifat kejiwaan karena telah
mendefinisikan dirinya dalam ilmu perilaku. Fenomena santet atau sejenisnya di
beberapa wilayah di dunia tidak dapat terjelaskan dengan baik karena metode
keilmuannya membatasi diri pada hal-hal yang nampak saja. Penerapan nilai-nilai
ketimuran pada beberapa negara tidak dapat diurai dengan baik oleh psikologi
barat. Hal ini menunjukkan adanya kerapuhan pada landasan berpikir yang dimulai
dari pencarian ilmu melalui metode yang digunakan.
Psikologi Islam menawarkan konsep tentang perluasan
bidang kajian dan metode yang dipergunakan untuk mencari kebenaran meskipun
tetap berlandaskan pada wahyu Tuhan (agama). Metode pencarian kebenaran tidak
hanya mempergunakan indra yang memiliki banyak keterbatasan, tetapi juga
mempergunakan potensi non-indrawi yang berwujud intuisi yang nilai kebenarannya
sama-sama relatif dan wahyu yang kebenarannya tak terbantahkan.
Metode ilmiah dalam membangun teori psikologi tetap
dipergunakan untuk memberikan peluang potensi inderawi, misalnya dengan
penelitian eksperimen, uji teori dengan menggunakan logika ilmiah
(rasionalisasi). Metode yang lain yang juga perlu mendapat tempat adalah
intuisi untuk memahami realitas empirik dan non-empirik yang tidak dapat
dijangkau oleh indra dan akal pikiran. Metode intuisi mempergunakan potensi
hati (qalbu) sebagai alat menjawab permasalahan yang terjadi dan merupakan
metode penyempurna dari keterbatasan rasio. Fritjof Schuon mengatakan bahwa
rasionalisme itu keliru bukan karena ia berupaya untuk mengekspresikan realitas
secara rasional sejauh itu memungkinkan, tetapi karena ia berupaya merangkul
seluruh realitas ke dalam alam rasio.
Disamping itu metode keyakinan dan otoritas juga bisa
digunakan untuk membangun sebuah teori dalam ilmu psikologi. Hal ini merupakan
salah satu aspek pemahaman dan ketundukan terhadap kebenaran kitab suci sebagai
wahyu dari pencipta manusia serta pengakuan kita terhadap orang-orang yang
memiliki kemampuan dalam menafsirkan ilmu psikologi melalui ilmu agama. Kedua
metode ini perlu mendapat pengakuan untuk mengembangkan teori psikologi yang
mencoba memahami manusia secara lebih komprehensif baik dari aspek materi
maupun non materi.
Keberadaan metode-metode tersebut untuk membangun teori
psikologi Islam membutuhkan kesepakatan dari penggagas ilmu psikologi Islam dan
tidak membutuhkan persetujuan dari ilmuwan non Islam. Hal ini juga telah
berlaku untuk pembangunan metode ilmiah bidang psikologi yang senantiasa
memperhatikan aspek objektifitas dan empirik meskipun banyak perilaku manusia
yang mulai tidak dapat didekati hanya pada pendekatan empiris. Jika kesepakatan
tentang objektifitas berdasarkan metode tersebut telah dicapai maka psikologi
Islam tidak lagi menjadi pseudo ilmiah tetapi sudah menjadi ilmiah bahkan bisa
mencapai supra ilmiah karena persyaratan ilmiah telah terpenuhi.
Aksiologi Psikologi Islam
Aksiologi merupakan bagian dari sistematika filsafat ilmu
yang berupa mencari tahu kegunaan ilmu tersebut, cara penggunaan dengan kaidah
moral, penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan moral dan prosedur operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral.
Keberadaan sebuah ilmu adalah untuk memberikan kemudahan
dan meningkatkan taraf hidup umat manusia. Bahkan para ilmuwan barat
mengungkapkan bahwa pada dasarnya ilmu itu netral nilai (etik), sehingga kegunaannya
sangat tergantung dari pengguna ilmu. Begitu pula metode yang digunakan untuk
membangun teori juga netral etik yang memungkinkan ilmuwan dapat membangun
teori berdasarkan metode atau caranya sendiri-sendiri tanpa memperhatikan
etika. Maslow mengingatkan bahwa sains akan menjadi busuk ketika mencampakkan
nilai karena sains yang netral nilai akan dapat menjadi alat yang dapat
dipergunakan oleh siapapun dan untuk tujuan apapun.
Psikologi barat telah memberikan banyak manfaat bagi
masyarakat dalam memecahkan permasalahan hidup. Konsep dan aplikasi ilmu
psikologi telah banyak digunakan oleh masyarakat dan menjadi jalan kemudahan
dalam menjalani kehidupan khususnya berkitan dengan perilaku manusia. Meskipun
dalam perkembangannya banyak masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan atau
dijelaskan melalui teori-teori psikologi barat. Hal ini dikarenakan konsep
tentang manusia yang digunakan justru sering menempatkan manusia pada sisi
negatif dan tidak menguntungkan, sehingga aplikasi keilmuannya menjauhkan manusia
dari kesejahteraan dan kemajuan sesuai dengan tujuannya.
Sebuah contoh yang dapat diambil adalah kasus
meningkatnya angka bunuh diri para lansia (manusia lanjut usia) di Eropa dan
Amerika meskipun mereka telah diberi penghidupan yang layak dan diberi
pelayanan yang optimal oleh para ahli psikologi dan kedokteran. Hal ini banyak
disebabkan karena kesalahan dalam memahami konsep manusia yang berakibat
kesalahan memberikan intervensi atau treatment psikologi. Begitu pula
penjelasan tentang perilaku teroris atau pendaftaran mati syahid juga tidak
mampu dijawab oleh psikologi barat yang tidak memahami aspek batiniah atau
spiritual manusia.
Psikologi sebagai sebuah ilmu mempunyai fungsi dalam
memaparkan, menjelaskan, mengontrol dan memprediksi sebuah perilaku. Psikologi
Islam dengan bangunan teori yang ada dapat melakukan fungsi tersebut dengan
tetap mengkaitkan dengan nilai-nilai yang dipegang yaitu nilai agama. Psikologi
Islam dapat merangsang pertumbuhan kesadaran untuk meningkatkan kualitas diri
yang lebih sempurna baik secara materi maupun non materi. Psikologi Islam dapat
mengarahkan pada terbentuknya kualitas hidup yang membawa pada kebahagian diri
dan kelompok untuk kehidupan masa kini dan esok.
Psikologi Islam mempunyai potensi untuk menjawab permasalahan
umat yang lebih komprehensif dibandingkan psikologi barat karena konsep manusia
lebih terintegrasi. Bahkan banyak penelitian-penelitian yang membuktikan
terselesaikannya permasalahan kehidupan (psikologis) ketika solusi yang
diberikan dikaitkan dengan pemaknaan terhadap perilaku beragama. Ini semua
membuktikan bahwa dalam aspek aksiologi keberadaan psikologi Islam tidak dapat
terbantahkan, artinya mampu memberikan kontribusi atau kemanfaatan yang besar
bagi umat manusia melalui aplikasi praktis keilmuannya.
0 comments:
Post a Comment