Prabowo Subianto Bumingkan Nama Mayjen Purn Sudrajat Di Jawa Barat Masa Pendukung Prabowo Antusias Terhadap Pilihan Prabowo

Sunday, 3 March 2013

Psikologi Islam


Latar Belakang Munculnya Psikologi Islam
Wacana psikologi Islam mulai bergaung semenjak tahun 1978 sebagai suatu perbincangan publik berskala Internasional pada International Symposium on Psychology and Islam di Universitas Riyadl Arab Saudi. Wacana ini merupakan salah satu bentuk terbukanya wacana global tentang islamisasi ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh Ismail Raji Al-Faruqi, Sayyid Hussein Nasr dan Ziauddin Sardar. Namun demikian sejak tahun 1950an Muhammad Utsman Najati telah banyak memberikan ceramah tentang Al-Qur’an dan ilmu jiwa. Dengan demikian pembahasan tentang psikologi yang dikaitkan dengan Islam telah merebak bersamaan dengan banyaknya kajian dalam psikologi barat, bukan hanya sekedar sebuah perilaku ”iri” terhadap perkembangan psikologi barat yang meninggalkan unsur agama dalam pembahasan manusia.
Secara umum berkembangnya wacana Psikologi Islam sebagai salah satu ”buah Islamisasi sains” atau ”kebangkitan Islam”, tidak hanya tuntutan dari ilmuwan muslim tetapi juga merupakan hasil kajian beberapa ilmuwan non muslim. Salah satunya adalah Erich Fromm yang mengungkapkan bahwa manusia modern menghadapi suatu ironi dimana mereka berjaya dalam menggapai capaian-capaian material namun kehidupan mereka dipenuhi keresahan jiwa (rentan terhadap stress, depresi dan merasa teralienasi). Erich Fromm memberi contoh makin meningkatkanya angka bunuh diri pada usia lansia di beberapa negara Eropa dan Amerika. Begitu pula pendapat filosuf Bertrand Russell yang mengatakan bahwa kemajuan material yang dicapai pada peradaban modern tidak dibarengi dengan kemajuan di bidang moral-spiritual.
Disamping itu adanya gelombang kritisisme ilmu pengatahuan modern menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya wacana psikologi Islam. Gelombang kritik ini diilhami oleh buku The Structure of Scientific Revolution karya Thomas Kuhn yang mengatakan bahwa gelombang revolusi ilmu pengetahaun selalu ditandai oleh pergeseran dan penggantian dominasi ilmu pengetahuan yang berlaku. Paradigma ilmu pengetahuan yang lama akan digantikan oleh paradigma baru yang lebih mampu menjelaskan tentang sebuah fenomena. Sebagai contoh aliran strukturalisme (consciousness) oleh Wilhelm Wundt digantikan oleh aliran psikoanalisa (unconsciousness) oleh Sigmund Freud. Aliran ini digantikan oleh behavioristik (stimulus-respon) oleh John B. Watson dan kemudian oleh Humanistik (potensi kemanusiaan) oleh Abraham H. Maslow lalu muncul psikologi transpersonal (potensi spiritual) oleh Anthony Sutich.
Melihat perkembangan paradigma psikologi barat yang telah dipaparkan diatas, maka tidak menutup kemungkinan psikologi Islam menjadi paradigma selanjutnya dalam perkembangan ilmu psikologi. Salah satu alasan yang dapat digunakan adalah bahwa psikologi Islam menempatkan kembali kedudukan agama dalam kehidupan manusia yang dalam sejarah perkembangan ilmu saling tarik ulur, menjadi penyempurna konsep perilaku manusia dan menghadirkan kembali faktor Tuhan (spiritual) dalam kehidupan manusia serta diyakini mampu menjadi elemen moral dalam aplikasi ilmu pengetahuan modern sehingga dapat membangun kembali peradaban manusia.
  1. D. Kajian Filsafat Ilmu Dalam Psikologi Islam
  2. 1. Ontologi Psikologi Islam
Mengkaji sebuah keilmuan dalam kategori filsafat ilmu, kita tidak dapat memisahkan diri dari pembahasan tentang aspek ontologi. Ontologi adalah aspek dalam filsafat ilmu yang mempelajari tentang objek yang akan ditelaah oleh ilmu tersebut, bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut dan bagaimana hubungan antara objek tersebut dengan daya tangkap manusia sendiri (berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Kajian ontologi psikologi Islam sama halnya pada psikologi barat yaitu manusia. Meskipun aspek kajiannya sama tentang manusia tapi dalam konsepnya memiliki beberapa perbedaan, baik melalui aliran psikoanalisa, behavioristik maupun humanistik. Perbedaan pemahaman konsep manusia ini akan mempengaruhi pada penerapan keilmuan itu sendiri, baik di bidang perkembangan, pendidikan, sosial, klinis maupun industri.
Psikoanalisa memandang manusia sebagai sosok makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan (id) dan sangat ditentukan oleh masa lalunya. Konsep ini dipandang terlalu menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia, sehingga terkesan pesimistis dalam pengembangan diri manusia. Sementara aliran behavioristik memandang manusia sebagai sosok makhluk yang sangat mekanistik karena kelahirannya tidak membawa apapun, sehingga kehidupannya sangat ditentukan oleh lingkungan atau hasil pengkondisian lingkungan. Sedangkan aliran humanistik memandang manusia sebagai sosok yang mempunyai potensi baik dan tidak terbatas, sehingga dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu memainkan peran Tuhan (play-God). Sementara psikologi transpersonal cenderung melihat pada dimensi spiritual (pengalaman subjektif transendental) manusia yang mempunyai kemampuan luar biasa diatas alam kesadaran.
Psikologi Islam hadir dengan menawarkan pembahasan tentang konsep manusia yang lebih utuh (komprehensif). Manusia tidak hanya dikendalikan oleh masa lalu tetapi juga mampu merancang masa depan. Manusia tidak hanya dikendalikan lingkungan tetapi juga mampu mengendalikan lingkungan. Manusia memiliki potensi baik tetapi juga potensi buruk (terbatas). Konsep manusia dalam psikologi Islam adalah bio-sosio-psikis-spiritual, artinya Islam mengakui keterbatasan aspek biologis (fisiologis), mengakui peran serta lingkungan (sosiokultural), mengakui keunggulan potensi dan juga memerankan aspek spiritual (Tuhan) dalam kehidupan manusia.
Manusia mempunyai 2 (dua) unsur yaitu jasmaniah (materi) dan rohaniah (non materi) yang secara umum dapat dijelaskan melalui konsep bio-sosio-psikis-spiritual yang dalam perkembangan psikologi barat tidak diakui keberadaannya. Perilaku manusia terbentuk oleh hasil kolaborasi semua unsur, tidak ada reduksi antar unsur sehingga pemahaman tentang manusia dapat menemukan titik temu yang utuh.
Islam menawarkan konsep manusia melalui pemahaman agama (wahyu Tuhan). Memahami manusia tidak dapat dilepaskan dari konsep ruh (daya ikat pencipta dan makhluknya), hati (qalbu) sebagai pengendali perilaku manusia, nafs yang menjadi wadah potensi manusia (baik-buruk) serta akal sebagai tempat nalar dan daya pemahaman tentang pilihan perilaku. Memahami manusia tidak hanya terbatas pada observable area tetapi juga yang unobservable area dan unconceivable area (tidak dapat dipikirkan atau dirasakan).
Apabila dilihat dari konteks pemahamannya, maka dapat dikatakan konsep unsur-unsur dalam diri manusia sangatlah abstrak seperi halnya konsep id-ego-super ego milik Freud dan archetyp-archetyp milik Carl Gustav Jung, sehingga tidak perlu diperdebatkan dalam kajian psikologi. Keberanian menawarkan konsep lain yang sejalan dengan pembahasan perilaku manusia merupakan entry point dalam membangun pondasi keilmuan yang baru.
Konsep unsur manusia dalam Islam diambil dari wahyu Tuhan tidak dapat diragukan kebenarannya. Tuhan adalah pencipta manusia yang tentunya sangat mengetahui hasil ciptaannya, sehingga acuan yang paling tepat untuk memahami manusia adalah dari kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan meskipun dalam aplikasinya terdapat pola penafsiran yang berbeda.
Epistemologi Psikologi Islam
Kajian epistemologi menekankan pada proses atau prosedur timbulnya ilmu pengatahuan, hal-hal yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar dan cara yang digunakan untuk membantu mendapatkan pengetahuan. Epistemologi merupakan satu-satunya jalur untuk melihat metode pencarian kebenaran dari sebuah ilmu pengetahuan. Kesalahan dalam menentukan metode akan menurunkan kualitas keilmuan tersebut sehingga hasil dari pencarian kebenaran akan banyak menyisakan pertanyaan-pertanyaan.
Secara epistemologi perkembangan psikologi barat bermula dari pengembangan metode ilmiah ilmu eksakta, sehingga hasil keilmuannya bermuara pada pengukuran kuantitatif-eksperimen untuk menjamin objektifitas. Perkembangan keilmuan yang sedemikian rupa merupakan efek dari penerimaan ilmu eksakta yang melebihi penghargaan dari ilmu sosial, sehingga para ilmuan sosial berbondong-bondong mengadopsi metode ilmiah eksakta untuk dipergunakan pada ilmu sosial termasuk psikologi.
Apabila ditelusuri keberadaan aliran-aliran dalam psikologi barat, maka dapat ditemukan bahwa konsep dasar aliran psikologi memiliki beberapa variasi dalam membangun keilmuannya meskipun tetap memiliki paradigma yang hampir sama. Freud mempergunakan pengalaman menangani pasien pada klinik neurologinya untuk membangun teori psikoanalisa. Bahkan tidak jarang mempergunakan pasien yang telah mengalami gangguan psikologis untuk digeneralisasikan pada orang-orang normal. Pavlov mencoba mempergunakan eksperimen binatang untuk menerangkan perilaku manusia pada aliran behavioristik, sehingga memunculkan spekulasi teori psikologi yang sangat mekanistik. Humanistik hadir untuk memberikan tempat yang lebih layak pada potensi dasar manusia dengan teori hirarki kebutuhan Maslow yang ternyata tidak mampu pula menjelaskan fenomena mati syahid para revolusi Iran.
Karakteristik bangunan teori yang telah dimiliki oleh psikologi barat dengan segala metode (caranya) cenderung over estimate atau mungkin over confidance untuk menjelaskan perilaku manusia yang memiliki keunikan masing-masing, sehingga pada perkembangan mutakhir memunculkan sebuah pemikiran baru dalam bidang psikologi yang dikenal dengan Indigenous Psychology atau Cross Culture Psychology yang memberikan wacana tentang aspek budaya dan karakteristik budaya lokal dalam pembentukan perilaku manusia.
Disamping itu bangunan ilmu psikologi juga sulit menjangkau permasalahan-permasalahan yang bersifat kejiwaan karena telah mendefinisikan dirinya dalam ilmu perilaku. Fenomena santet atau sejenisnya di beberapa wilayah di dunia tidak dapat terjelaskan dengan baik karena metode keilmuannya membatasi diri pada hal-hal yang nampak saja. Penerapan nilai-nilai ketimuran pada beberapa negara tidak dapat diurai dengan baik oleh psikologi barat. Hal ini menunjukkan adanya kerapuhan pada landasan berpikir yang dimulai dari pencarian ilmu melalui metode yang digunakan.
Psikologi Islam menawarkan konsep tentang perluasan bidang kajian dan metode yang dipergunakan untuk mencari kebenaran meskipun tetap berlandaskan pada wahyu Tuhan (agama). Metode pencarian kebenaran tidak hanya mempergunakan indra yang memiliki banyak keterbatasan, tetapi juga mempergunakan potensi non-indrawi yang berwujud intuisi yang nilai kebenarannya sama-sama relatif dan wahyu yang kebenarannya tak terbantahkan.
Metode ilmiah dalam membangun teori psikologi tetap dipergunakan untuk memberikan peluang potensi inderawi, misalnya dengan penelitian eksperimen, uji teori dengan menggunakan logika ilmiah (rasionalisasi). Metode yang lain yang juga perlu mendapat tempat adalah intuisi untuk memahami realitas empirik dan non-empirik yang tidak dapat dijangkau oleh indra dan akal pikiran. Metode intuisi mempergunakan potensi hati (qalbu) sebagai alat menjawab permasalahan yang terjadi dan merupakan metode penyempurna dari keterbatasan rasio. Fritjof Schuon mengatakan bahwa rasionalisme itu keliru bukan karena ia berupaya untuk mengekspresikan realitas secara rasional sejauh itu memungkinkan, tetapi karena ia berupaya merangkul seluruh realitas ke dalam alam rasio.
Disamping itu metode keyakinan dan otoritas juga bisa digunakan untuk membangun sebuah teori dalam ilmu psikologi. Hal ini merupakan salah satu aspek pemahaman dan ketundukan terhadap kebenaran kitab suci sebagai wahyu dari pencipta manusia serta pengakuan kita terhadap orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menafsirkan ilmu psikologi melalui ilmu agama. Kedua metode ini perlu mendapat pengakuan untuk mengembangkan teori psikologi yang mencoba memahami manusia secara lebih komprehensif baik dari aspek materi maupun non materi.
Keberadaan metode-metode tersebut untuk membangun teori psikologi Islam membutuhkan kesepakatan dari penggagas ilmu psikologi Islam dan tidak membutuhkan persetujuan dari ilmuwan non Islam. Hal ini juga telah berlaku untuk pembangunan metode ilmiah bidang psikologi yang senantiasa memperhatikan aspek objektifitas dan empirik meskipun banyak perilaku manusia yang mulai tidak dapat didekati hanya pada pendekatan empiris. Jika kesepakatan tentang objektifitas berdasarkan metode tersebut telah dicapai maka psikologi Islam tidak lagi menjadi pseudo ilmiah tetapi sudah menjadi ilmiah bahkan bisa mencapai supra ilmiah karena persyaratan ilmiah telah terpenuhi.
Aksiologi Psikologi Islam
Aksiologi merupakan bagian dari sistematika filsafat ilmu yang berupa mencari tahu kegunaan ilmu tersebut, cara penggunaan dengan kaidah moral, penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan moral dan prosedur operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral.
Keberadaan sebuah ilmu adalah untuk memberikan kemudahan dan meningkatkan taraf hidup umat manusia. Bahkan para ilmuwan barat mengungkapkan bahwa pada dasarnya ilmu itu netral nilai (etik), sehingga kegunaannya sangat tergantung dari pengguna ilmu. Begitu pula metode yang digunakan untuk membangun teori juga netral etik yang memungkinkan ilmuwan dapat membangun teori berdasarkan metode atau caranya sendiri-sendiri tanpa memperhatikan etika. Maslow mengingatkan bahwa sains akan menjadi busuk ketika mencampakkan nilai karena sains yang netral nilai akan dapat menjadi alat yang dapat dipergunakan oleh siapapun dan untuk tujuan apapun.
Psikologi barat telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat dalam memecahkan permasalahan hidup. Konsep dan aplikasi ilmu psikologi telah banyak digunakan oleh masyarakat dan menjadi jalan kemudahan dalam menjalani kehidupan khususnya berkitan dengan perilaku manusia. Meskipun dalam perkembangannya banyak masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan atau dijelaskan melalui teori-teori psikologi barat. Hal ini dikarenakan konsep tentang manusia yang digunakan justru sering menempatkan manusia pada sisi negatif dan tidak menguntungkan, sehingga aplikasi keilmuannya menjauhkan manusia dari kesejahteraan dan kemajuan sesuai dengan tujuannya.
Sebuah contoh yang dapat diambil adalah kasus meningkatnya angka bunuh diri para lansia (manusia lanjut usia) di Eropa dan Amerika meskipun mereka telah diberi penghidupan yang layak dan diberi pelayanan yang optimal oleh para ahli psikologi dan kedokteran. Hal ini banyak disebabkan karena kesalahan dalam memahami konsep manusia yang berakibat kesalahan memberikan intervensi atau treatment psikologi. Begitu pula penjelasan tentang perilaku teroris atau pendaftaran mati syahid juga tidak mampu dijawab oleh psikologi barat yang tidak memahami aspek batiniah atau spiritual manusia.
Psikologi sebagai sebuah ilmu mempunyai fungsi dalam memaparkan, menjelaskan, mengontrol dan memprediksi sebuah perilaku. Psikologi Islam dengan bangunan teori yang ada dapat melakukan fungsi tersebut dengan tetap mengkaitkan dengan nilai-nilai yang dipegang yaitu nilai agama. Psikologi Islam dapat merangsang pertumbuhan kesadaran untuk meningkatkan kualitas diri yang lebih sempurna baik secara materi maupun non materi. Psikologi Islam dapat mengarahkan pada terbentuknya kualitas hidup yang membawa pada kebahagian diri dan kelompok untuk kehidupan masa kini dan esok.
Psikologi Islam mempunyai potensi untuk menjawab permasalahan umat yang lebih komprehensif dibandingkan psikologi barat karena konsep manusia lebih terintegrasi. Bahkan banyak penelitian-penelitian yang membuktikan terselesaikannya permasalahan kehidupan (psikologis) ketika solusi yang diberikan dikaitkan dengan pemaknaan terhadap perilaku beragama. Ini semua membuktikan bahwa dalam aspek aksiologi keberadaan psikologi Islam tidak dapat terbantahkan, artinya mampu memberikan kontribusi atau kemanfaatan yang besar bagi umat manusia melalui aplikasi praktis keilmuannya.

0 comments:

Post a Comment