Belanda
Tidak Pernah Menjajah Ratusan Tahun di Indonesia
Ada tulisan menarik
dari pakar Sejarah/ guru besar sejarah UNPAD, Prof. Nina Herlina Lubis mengenai
Sejarah Penjajahan Kerajaan/ Negara di Negeri Indonesia. Meskipun dulunya waktu
Belanda datang belum terbentuk negara Indonesia tercinta ini. Menarik dari
kesimpulan tulisan yang dimuat oleh Koran Pikiran Rakyat satu tahun lalu (8 Maret
2008) ini adalah. Belanda memerlukan 300 tahun untuk menaklukkan Indonesia,
bukan Indonesia di jajah selama 350 tahun.
Judul Asli Tulisan yang
dimuat di PR ; Tanggal 8 Maret 2008
Oleh Nina Herlina L.
“Wij sluiten nu.Vaarwel,
tot betere tijden. Leve de Koningin!” (Kami akhiri sekarang. Selamat berpisah
sampai waktu yang lebih baik. Hidup Sang Ratu!). Demikian NIROM (Nederlandsch
Indische Radio Omroep Maatschappij/Maskapai Radio Siaran Hindia Belanda)
mengakhiri siarannya pada tanggal 8 Maret 1942.
Enam puluh enam tahun
yang lalu, tepatnya 8 Maret 1942, penjajahan Belanda di Indonesia berakhir
sudah. Rupanya “waktu yang lebih baik” dalam siaran terakhir NIROM itu tidak
pernah ada karena sejak 8 Maret 1942 Indonesia diduduki Pemerintahan Militer
Jepang hingga tahun 1945. Indonesia menjadi negara merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945.Masyarakat awam selalu mengatakan bahwa kita dijajah Belanda
selama 350 tahun. Benarkah demikian? Untuk ke sekian kalinya, harus ditegaskan
bahwa “Tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun”. Masyarakat memang
tidak bisa disalahkan karena anggapan itu sudah tertulis dalam buku-buku
pelajaran sejarah sejak Indonesia merdeka! Tidak bisa disalahkan juga ketika
Bung Karno mengatakan, “Indonesia dijajah selama 350 tahun!” Sebab, ucapan ini
hanya untuk membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme rakyat
Indonesia saat perang kemerdekaan (1946-1949) menghadapi Belanda yang ingin
kembali menjajah Indonesia.
Bung Karno menyatakan
hal ini agaknya juga untuk meng-counter ucapan para penguasa Hindia Belanda. De
Jong, misalnya, dengan arogan berkata, “Belanda sudah berkuasa 300 tahun dan
masih akan berkuasa 300 tahun lagi!” Lalu Colijn yang dengan pongah berkoar,
“Belanda tak akan tergoyahkan karena Belanda ini sekuat (Gunung) Mount Blanc di
Alpen.”
Tulisan ini akan
menjelaskan bahwa anggapan yang sudah menjadi mitos itu, tidak benar. Mari kita
lihat sejak kapan kita (Indonesia) dijajah dan kapan pula penjajahan itu
berakhir.
Kedatangan penjajah
Pada 1511, Portugis
berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang menghubungkan perdagangan dari
India dan Cina. Dengan menguasai Malaka, Portugis berhasil mengendalikan
perdagangan rempah-rempah seperti lada, cengkeh, pala, dan fuli dari Sumatra
dan Maluku. Pada 1512, D`Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal
rempah-rempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten,
Sundakalapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu
tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba juga di Ternate.
Di Ternate, Portugis
mendapat izin untuk membangun sebuah benteng. Portugis memantapkan kedudukannya
di Maluku dan sempat meluaskan pendudukannya ke Timor. Dengan semboyan “gospel,
glory, and gold” mereka juga sempat menyebarkan agama Katolik, terutama di
Maluku. Waktu itu, Nusantara hanyalah merupakan salah satu mata rantai saja
dalam dunia perdagangan milik Portugis yang menguasai separuh dunia ini
(separuh lagi milik Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian
Tordesillas tahun 1493. Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100
mil di sebelah barat Semenanjung Verde, terus ke timur melalui Goa di India,
hingga kepulauan rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai
Spanyol.
Sejak dasawarsa terakhir
abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan dagang ke Asia yang
dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-16. Pada 1595, sebuah perusahaan
dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre membiayai sebuah ekspedisi
dagang ke Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini
membawa empat buah kapal. Setelah menempuh perjalanan selama empat belas bulan,
pada 22 Juni 1596, mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik
awal kedatangan Belanda di Nusantara.
Kunjungan pertama tidak
berhasil karena sikap arogan Cornelis de Houtman. Pada 1 Mei 1598, Perseroan
Amsterdam mengirim kembali rombongan perdagangannya ke Nusantara di bawah
pimpinan Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwijck. Dengan belajar dari
kesalahan Cornelis de Houtman, mereka berhasil mengambil simpati penguasa
Banten sehingga para pedagang Belanda ini diperbolehkan berdagang di Pelabuhan
Banten. Ketiga kapal kembali ke negerinya dengan muatan penuh. Sementara itu,
kapal lainnya meneruskan perjalanannya sampai ke Maluku untuk mencari cengkih
dan pala.
Dengan semakin ramainya
perdagangan di perairan Nusantara, persaingan dan konflik pun meningkat. Baik
di antara sesama pedagang Belanda maupun dengan pedagang asing lainnya seperti
Portugis dan Inggris. Untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat ini, pada
1602 di Amsterdam dibentuklah suatu wadah yang merupakan perserikatan dari
berbagai perusahaan dagang yang tersebar di enam kota di Belanda. Wadah itu
diberi nama Verenigde Oost-Indische Compagnie (Serikat Perusahaan Hindia Timur)
disingkat VOC.
Pemerintah Kerajaan
Belanda (dalam hal ini Staaten General), memberi “izin dagang” (octrooi) pada
VOC. VOC boleh menjalankan perang dan diplomasi di Asia, bahkan merebut
wilayah-wilayah yang dianggap strategis bagi perdagangannya. VOC juga boleh
memiliki angkatan perang sendiri dan mata uang sendiri. Dikatakan juga bahwa
octrooi itu selalu bisa diperpanjang setiap 21 tahun. Sejak itu hanya
armada-armada dagang VOC yang boleh berdagang di Asia (monopoli perdagangan).
Dengan kekuasaan yang
besar ini, VOC akhirnya menjadi “negara dalam negara” dan dengan itu pula mulai
dari masa Jan Pieterszoon Coen (1619-1623, 1627-1629) sampai masa Cornelis
Speelman (1681-1684) menjadi Gubernur Jenderal VOC, kota-kota dagang di
Nusantara yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah berhasil dikuasai VOC.
Batavia (sekarang Jakarta) menjadi pusat kedudukan VOC sejak 1619, Ambon
dikuasai tahun 1630. Beberapa kota pelabuhan di Pulau Jawa baru diserahkan
Mataram kepada VOC antara tahun 1677-1705. Sementara di daerah pedalaman,
raja-raja dan para bupati masih tetap berkuasa penuh. Peranan mereka hanya
sebatas menjadi “tusschen personen” (perantara) penguasa VOC dan rakyat.
“Power tends to
Corrupt.” Demikian kata Lord Acton, sejarawan Inggris terkemuka. VOC memiliki
kekuasaan yang besar dan lama, VOC pun mengalami apa yang dikatakan Lord Acton.
Pada 1799, secara resmi VOC dibubarkan akibat korupsi yang parah mulai dari
“cacing cau” hingga Gubernur Jenderalnya. Pemerintah Belanda lalu menyita semua
aset VOC untuk membayar utang-utangnya, termasuk wilayah-wilayah yang
dikuasainya di Indonesia, seperti kota-kota pelabuhan penting dan pantai utara
Pulau Jawa.
Selama satu abad
kemudian, Hindia Belanda berusaha melakukan konsolidasi kekuasaannya mulai dari
Sabang-Merauke. Namun, tentu saja tidak mudah. Berbagai perang melawan
kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro
(1825-1830), Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di
Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali
(1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908),
Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan
Perang Aceh (1873-1912).
Peperangan di seluruh
Nusantara itu baru berakhir dengan berakhirnya Perang Aceh. Jadi baru setelah
tahun 1912, Belanda benar-benar menjajah seluruh wilayah yang kemudian menjadi
wilayah Republik Indonesia (kecuali Timor Timur). Jangan lupa pula bahwa antara
1811-1816, Pemerintah Hindia Belanda sempat diselingi oleh pemerintahan
interregnum (pengantara) Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford
Raffles.
Saat-saat
akhir
Pada 7 Desember 1941,
Angkatan Udara Jepang di bawah pimpinan Laksamana Nagano melancarkan serangan
mendadak ke pangkalan angkatan laut AS di Pearl Harbour, Hawaii. Akibat
serangan itu kekuatan angkatan laut AS di Timur Jauh lumpuh. AS pun menyatakan
perang terhadap Jepang. Demikian pula Belanda sebagai salah satu sekutu AS
menyatakan perang terhadap Jepang.
Pada 18 Desember 1941,
pukul 06.30, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jenderal Tjarda van Starkenborgh
Stachouwer melalui radio menyatakan perang terhadap Jepang. Pernyataan perang
tersebut kemudian direspons oleh Jepang dengan menyatakan perang juga terhadap
Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1942. Setelah armada Sekutu dapat
dihancurkan dalam pertempuran di Laut Jawa maka dengan mudah pasukan Jepang
mendarat di beberapa tempat di pantai utara Pulau Jawa.
Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda memusatkan pertahanannya di sekitar pegunungan Bandung. Pada
waktu itu kekuatan militer Hindia Belanda di Jawa berjumlah empat Divisi atau
sekitar 40.000 prajurit termasuk pasukan Inggris, AS, dan Australia. Pasukan
itu di bawah komando pasukan sekutu yang markas besarnya di Lembang dan
Panglimanya ialah Letjen H. Ter Poorten dari Tentara Hindia Belanda (KNIL).
Selanjutnya kedudukan Pemerintah Kolonial Belanda dipindahkan dari Batavia
(Jakarta) ke Kota Bandung.
Pasukan Jepang yang
mendarat di Eretan Wetan adalah Detasemen Syoji. Pada saat itu satu detasemen
pimpinannya berkekuatan 5.000 prajurit yang khusus ditugasi untuk merebut Kota
Bandung. Satu batalion bergerak ke arah selatan melalui Anjatan, satu batalion
ke arah barat melalui Pamanukan, dan sebagian pasukan melalui Sungai
Cipunagara. Batalion Wakamatsu dapat merebut lapangan terbang Kalijati tanpa
perlawanan berarti dari Angkatan Udara Inggris yang menjaga lapangan terbang
itu.
Pada 5 Maret 1942,
seluruh detasemen tentara Jepang yang ada di Kalijati disiapkan untuk
menggempur pertahanan Belanda di Ciater dan selanjutnya menyerbu Bandung.
Akibat serbuan itu tentara Belanda dari Ciater mundur ke Lembang yang dijadikan
benteng terakhir pertahanan Belanda.
Pada 6 Maret 1942,
Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten memerintahkan
Komandan Pertahanan Bandung Mayor Jenderal J. J. Pesman agar tidak mengadakan
pertempuran di Bandung dan menyarankan mengadakan perundingan mengenai
penyerahan pasukan yang berada di garis Utara-Selatan yang melalui Purwakarta
dan Sumedang. Menurut Jenderal Ter Poorten, Bandung pada saat itu padat oleh
penduduk sipil, wanita, dan anak-anak, dan apabila terjadi pertempuran maka
banyak dari mereka yang akan jadi korban.
Pada 7 Maret 1942 sore
hari, Lembang jatuh ke tangan tentara Jepang. Mayjen J. J. Pesman mengirim
utusan ke Lembang untuk merundingkan masalah itu. Kolonel Syoji menjawab bahwa
untuk perundingan itu harus dilakukan di Gedung Isola (sekarang gedung Rektorat
UPI Bandung). Sementara itu, Jenderal Imamura yang telah dihubungi Kolonel
Syoji segera memerintahkan kepada bawahannya agar mengadakan kontak dengan
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer untuk mengadakan
perundingan di Subang pada 8 Maret 1942 pagi. Akan tetapi, Letnan Jenderal Ter
Poorten meminta Gubernur Jenderal agar usul itu ditolak.
Jenderal Imamura
mengeluarkan peringatan bahwa “Bila pada 8 Maret 1942 pukul 10.00 pagi para
pembesar Belanda belum juga berangkat ke Kalijati maka Bandung akan dibom sampai
hancur.” Sebagai bukti bahwa ancaman itu bukan sekadar gertakan, di atas Kota
Bandung tampak pesawat-pesawat pembom Jepang dalam jumlah besar siap untuk
melaksanakan tugasnya.
Melihat kenyataan itu,
Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda beserta para pembesar
tentara Belanda lainnya berangkat ke Kalijati sesuai dengan tanggal dan waktu
yang telah ditentukan. Pada mulanya Jenderal Ter Poorten hanya bersedia
menyampaikan kapitulasi Bandung. Namun, karena Jenderal Imamura menolak usulan
itu dan akan melaksanakan ultimatumnya. Akhirnya, Letnan Jenderal Ter Poorten
dan Gubernur Jenderal Tjarda menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada
Jepang tanpa syarat. Keesokan harinya, 9 Maret 1942 pukul 08.00 dalam siaran
radio Bandung, terdengar perintah Jenderal Ter Poorten kepada seluruh
pasukannya untuk menghentikan segala peperangan dan melakukan kapitulasi tanpa
syarat.
Itulah akhir kisah
penjajahan Belanda. Setelah itu Jepang pun menduduki Indonesia hingga akhirnya
merdeka 17 Agustus 1945. Jepang hanya berkuasa tiga tahun lima bulan delapan
hari.
Analisis
Berdasarkan uraian di
atas, kita bisa menghitung berapa lama sesungguhnya Indonesia dijajah Belanda.
Kalau dihitung dari 1596 sampai 1942, jumlahnya 346 tahun. Namun, tahun 1596
itu Belanda baru datang sebagai pedagang. Itu pun gagal mendapat izin dagang.
Tahun 1613-1645, Sultan Agung dari Mataram, adalah raja besar yang menguasai
seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, dan Blambangan. Jadi, tidak bisa
dikatakan Belanda sudah menjajah Pulau Jawa (yang menjadi bagian Indonesia
kemudian).
Selama seratus tahun
dari mulai terbentuknya Hindia Belanda pascakeruntuhan VOC (dengan dipotong
masa penjajahan Inggris selama 5 tahun), Belanda harus berusaha keras
menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara hingga terciptanya Pax Neerlandica.
Namun, demikian hingga akhir abad ke-19, beberapa kerajaan di Bali, dan awal
abad ke-20, beberapa kerajaan di Nusa Tenggara Timur, masih mengadakan
perjanjian sebagai negara bebas (secara hukum internasional) dengan Belanda.
Jangan pula dilupakan hingga sekarang Aceh menolak disamakan dengan Jawa karena
hingga 1912 Aceh adalah kerajaan yang masih berdaulat. Orang Aceh hanya mau
mengakui mereka dijajah 33 tahun saja.
Kesimpulannya, tidak
benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang benar adalah, Belanda
memerlukan waktu 300 tahun untuk menguasai seluruh Nusantara. ***
Penulis, Guru Besar Ilmu
Sejarah Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat/Ketua
Pusat Kebudayaan Sunda Fakultas Sastra Unpad.
0 comments:
Post a Comment